Wahai Istriku......!
Wahai istriku,Aku teringat beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali ku bertatap muka dengan orang tuamu,tahukah engkau? Betapa kencangnya detak jantungku kala itu.
Dengan mengumpulkan percahan keberanianku,Ku paksakan diri untuk mengabulkan undanganmu,undangan untuk segera meminangmu.
Wahai istriku,tahukah engkau....?
Bahwa saat itu aku sangat meragukan kemampuanku. Karena keadaan yang masih jauh dari harapan.
Namun,dengan keyakinanmu,kau kuatkan langkah kakiku,dan Engkau sapu keraguanku.
Sejak saat itu,tekad ku bulatkan,janji pun aku ikrarkan. Hanya satu,membahagiakanmu selama engkau dalam pertanggung jawabanku. Nyawa pun ku pancangkan sebagai barang pertaruhan.
Setelah itu,kita pun resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah engkau mampu meyakinkan kedua orang tuamu.
Dengan beragam argumen kau pertaruhkan masa depanmu. Ya...masa depan hidup di atas bahtera kehidupanku yang masih terlalu rapuh,masih membuat ragu siapa pun yang hendak turut berlayar dengan bahtera itu.
Jangankan orang lain,Aku sendiri pun masih teramat ragu. Namun,dengan keyakinanmu,engkau sapu keraguanku.
Wahai istriku,tahukah Engkau...?
Hampir pasti meleleh air mataku,tatkala terkenang kembali awal-awal perjalanan yang kita tempuh.
Berat memang,ujian dan cobaan datang bergiliran walau tak pernah kita inginkan. Datangnya pun layaknya ombak yang bergulung-gulung menghantam bahtera tempat Kita berpijak.
Wahai Istriku,tahukah Engkau...?
Masa-masa Itu menjadi embrio keraguanku. Aku kembali ragu dengan kemampuanku hingga sempat terpikirkan untuk melepasmu dari pertanggung jawabanku,karena hatiku terlalu lemah untuk melihat ketidak-bahagiaanmu.
Wahai Istriku,tahu kah Engkau...?
Kenapa aku kembali meragu? Rak lain dan tak bukan,karena Aku tahu ketidak-bahagiaanmu itu.
Meskipun kau samarkan dengan senyuman manismu,meskipun kau tutupi mata kepalaku dengan tawa candamu. Namun,mata hatiku mengabarkanya pada nuraniku,bahwa dengan tulusmu Engkau simpan tangismu,dengan sabarmu Engkau bungkus kesesedihanmu.
Tahu kah Engkau duhai Istriku...?
Hati Nuraini bisa saja di bohongi,tapi tidak dengan hati nurani. Namun,dengan tulus,dengan sabarmu,Engkau sapu keraguanku.
Dan kini,kehidupan kita kian membaik. Penghasilanku kiranya telah mampu menutupi kebutuhanku,kebutuhanmu dan segala kebutuhan dalam perjalanan hidup kita.
Wahai Istriku,tahu kah Engkau....?
Bahwa semua ini adalah karenamu,dengan ridlo Tuhan Kita tentunya. Tanpamu... Apa dan siapalah Aku?
"Saat Aku lalai,Engkau mengingatkanku..."
"Saat Aku lemah,Engkau menguatkanku..."
"Saat Aku ragu,Engkau meyakinkanku..."
"Saat Aku mulai putus asa,Engkau menyemangatiku..."
"Saat Aku jatuh,Engkau membangkitkanku..."
Wahai Istriku,tahu kah Engkau....?
Sesempurna-sempurnanya wanita adalah dirimu. Seandainya kelak Tuhan menganugerahkan surgaNya untukku,dan mengirimkan 70 bidadari untuk menemaniku,akan Aku tolak semua bidadari itu,karena Aku hanya inginkan Engkau sebagai satu-satunya bidadariku.
"Wahai Istriku,Engkaulah bidadari duniaku,dan hanya Engkaulah bidadari surgaku"
Dengan mengumpulkan percahan keberanianku,Ku paksakan diri untuk mengabulkan undanganmu,undangan untuk segera meminangmu.
Wahai istriku,tahukah engkau....?
Bahwa saat itu aku sangat meragukan kemampuanku. Karena keadaan yang masih jauh dari harapan.
Namun,dengan keyakinanmu,kau kuatkan langkah kakiku,dan Engkau sapu keraguanku.
Sejak saat itu,tekad ku bulatkan,janji pun aku ikrarkan. Hanya satu,membahagiakanmu selama engkau dalam pertanggung jawabanku. Nyawa pun ku pancangkan sebagai barang pertaruhan.
Setelah itu,kita pun resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah engkau mampu meyakinkan kedua orang tuamu.
Dengan beragam argumen kau pertaruhkan masa depanmu. Ya...masa depan hidup di atas bahtera kehidupanku yang masih terlalu rapuh,masih membuat ragu siapa pun yang hendak turut berlayar dengan bahtera itu.
Jangankan orang lain,Aku sendiri pun masih teramat ragu. Namun,dengan keyakinanmu,engkau sapu keraguanku.
Wahai istriku,tahukah Engkau...?
Hampir pasti meleleh air mataku,tatkala terkenang kembali awal-awal perjalanan yang kita tempuh.
Berat memang,ujian dan cobaan datang bergiliran walau tak pernah kita inginkan. Datangnya pun layaknya ombak yang bergulung-gulung menghantam bahtera tempat Kita berpijak.
Wahai Istriku,tahukah Engkau...?
Masa-masa Itu menjadi embrio keraguanku. Aku kembali ragu dengan kemampuanku hingga sempat terpikirkan untuk melepasmu dari pertanggung jawabanku,karena hatiku terlalu lemah untuk melihat ketidak-bahagiaanmu.
Wahai Istriku,tahu kah Engkau...?
Kenapa aku kembali meragu? Rak lain dan tak bukan,karena Aku tahu ketidak-bahagiaanmu itu.
Meskipun kau samarkan dengan senyuman manismu,meskipun kau tutupi mata kepalaku dengan tawa candamu. Namun,mata hatiku mengabarkanya pada nuraniku,bahwa dengan tulusmu Engkau simpan tangismu,dengan sabarmu Engkau bungkus kesesedihanmu.
Tahu kah Engkau duhai Istriku...?
Hati Nuraini bisa saja di bohongi,tapi tidak dengan hati nurani. Namun,dengan tulus,dengan sabarmu,Engkau sapu keraguanku.
Dan kini,kehidupan kita kian membaik. Penghasilanku kiranya telah mampu menutupi kebutuhanku,kebutuhanmu dan segala kebutuhan dalam perjalanan hidup kita.
Wahai Istriku,tahu kah Engkau....?
Bahwa semua ini adalah karenamu,dengan ridlo Tuhan Kita tentunya. Tanpamu... Apa dan siapalah Aku?
"Saat Aku lalai,Engkau mengingatkanku..."
"Saat Aku lemah,Engkau menguatkanku..."
"Saat Aku ragu,Engkau meyakinkanku..."
"Saat Aku mulai putus asa,Engkau menyemangatiku..."
"Saat Aku jatuh,Engkau membangkitkanku..."
Wahai Istriku,tahu kah Engkau....?
Sesempurna-sempurnanya wanita adalah dirimu. Seandainya kelak Tuhan menganugerahkan surgaNya untukku,dan mengirimkan 70 bidadari untuk menemaniku,akan Aku tolak semua bidadari itu,karena Aku hanya inginkan Engkau sebagai satu-satunya bidadariku.
"Wahai Istriku,Engkaulah bidadari duniaku,dan hanya Engkaulah bidadari surgaku"
Posting Komentar untuk "Wahai Istriku......!"
PERHATIAN ... ! Komentar dengan menyertakan link aktif akan terhapus secara otomatis.